Selasa, 10 Juli 2012

Laporan Praktikum Budidaya Laut "rumput Laut" Pademawu Pamekasan


I. PENDAHULUAN
I. Latar belakang
Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun dalam faktanya perikanan tangkap masih memberikan kontribusi yang cukup tinggi pada sektor perikanan,berdasarkan data dari FAO tahun 2002, produksi perikanan tangkap dunia cenderung mengalami penurunan akibat eksploitasi dan berkurangnya sumberdaya ikan di laut. Sedangkan budidaya cenderung mengalami peningkatan yang cukup signikan. Berdasarkan hasil kajian Ditjen Perikanan Budidaya tahun 2004, diperkirakan terdapat 8,36 juta ha perairan laut yang secara indikatif dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut di Indonesia (www.indonesia.go.id., 2004).

Dalam pemanfaatan sumber daya yang ada, Indonesia sangat berpotensi untuk pengembangan potensi budidaya tanaman laut seperti rumput laut. Mengingat lautan di Indonesia dengan garis pantai sekitar 81.000 km diyakini memiliki potensi rumput laut yang sangat tinggi serta pulau-pulau dengan dasar perairan berkarang dan berpasir serta dukungan perairan yang terlindung dan relatif tenang sangat menunjang dalam usaha budidaya rumput laut. Tercatat sedikitnya ada 555 jenis rumput laut di perairan Indonesia, diantaranya ada 55 jenis yang diketahui mempunyai nilai ekonomis tinggi, diantaranya Eucheuma sp, Gracilaria dan Gelidium (www.bi.go.id, 2007)
Dalam budidaya rumput laut, di masing-masing daerah berkembang sesuai dengan kebiasaan dan kondisi lokasi perairan di wilayah tersebut. Ada beberapa metode yang dapat dilakukan, seperti metode rakit apung dan metode tali panjang.
1.2 Manfaat dan Tujuan Praktikum
1.2.1 Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan mempelajari secara langsung teknik budidaya rumput laut E.cottonii dengan metode rakit apung.
1.2.2 Manfaat :
Diketahuinya teknik budidaya rumput laut yang baik dan tepat sehingga memperoleh produksi yang tinggi.
1.3 Rumusan Masalah
Dalam metode budidaya perairan, khususnya rumput laut, selama ini banyak metode – metode seperti long line / tali panjang, rakit apung yang belum banyak diketahui oleh khalayak orang banyak. Seperti pemilihan tempat, bahan / material, tata cara penanaman, hingga pemanenan.

II. TINJAUN PUSTAKA
2.1 Rumpu Laut (E.cottonii)
Rumput laut Eucheuma cottonii mempunyai ciri-ciri yaitu thallus silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), berwarna cokelat kemerahan, cartilageneus (menyerupai tulang rawan atau muda), percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (system percabangan tiga-tiga) Rumput laut Eucheuma cottonii memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesa. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. Di alam, jenis ini biasanya hidup berkumpul dalam satu komunitas atau koloni (Jana-Anggadiredjo, 2006).
2.1.2 Taksonomi dan Morfologi Rumput Laut (E.cottonii)
Dari segi morfologi Rumput Laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang, dan daun. Bentuk tersebut adalah thalus belaka. Bentuk thalus Rumput Laut bermacam-macam, antara lain bulat, pipih, gepeng dan bulat seperti kantong, rambut dan sebagainya. Berdasarkan jumlah sel yang menyusunnya alga ini ada yang tersusun uniseluler (satu sel) atau multiseluler (banyak sel). Pada makro alga, jenis percabangan antara lain adalah pectinate (berderet searah pada thalus utama), pinnate (bercabag dua-dua sepanjang thalus utama secara berselang selang), ferticilate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada juga yang sederhana, tidak bercabang.

 Adapun klasifikasi Rumput Laut sapat dilihat di bawah ini:
Divisi: Rhodophyta                     
Kelas: Rhodophyceae
Sub kelas: Florideophycidae
Bangsa: Gigantinales
Suku: Solieraceae                            
Marga: Eucheuma                     
Jenis: Eucheuma Cottonii
         Rumput Laut atau alga tumbuh hampir diseluruh bagian hidrofis sampai batas kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya beberapa jenis Rumput Laut hidupnya kosmopolit,mendunia. Rumput Laut hidup sebagai fitobentho dengan menancapkan dirinya pada subtrat lumpur,pasir dan seterusnya. Perkembangan Rumput Laut pada dasarnya ada dua macam,yaitu secara kawin(generatif) antara gamet jantan dengan gamet betina dan secara tidak kawin vegetatif,konjugatif dan peresponan.

Rumput Laut terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%) serat kasar (3%) dan abu (22,25%). Selain karbohidrat, protein, lemak dan serat, Rumput Laut juga mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A,B,C,D, E dan K) dan makro mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan selenium serta mikro mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam amino, vitamin dan mineral Rumput Laut mencapai 10 -20 kali lipat dibandingkan dengan tanaman daragepeng, bercabang berselang tidak teratur, di atau tikotomous (DPK). (Anonymous. 2012)
(Sumber:http://chaplain-zee.blog.friendster.com/2008/11/proses-pengepakan-dan-transportasi-bibit-rumput-laut-eucheuma-cottonii-di-lombok-tengah-nusa-tenggara-barat/)

2.1.3 Habitat
Eucheuma cottonii tumbuh di rataan terumbu karang dangkal sampai kedalaman 6 m, melekat di batu karang, cangkang kerang dan benda keras lainnya. Faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan jenis ini yaitu cukup arus dan salinitas (kadar garam) yang stabil, yaitu berkisar 28-34 per mil. Oleh karenanya rumput laut jenis ini akan hidup baik bila jauh dari muara sungai. Jenis ini telah dibudidayakan dengan cara diikat pada tali sehingga tidak perlu melekat pada substrat karang atau benda lainnya (Jana-Anggadiredjo, 2006). Jana-Anggadiredjo, 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.

2.1.4 REPRODUKSI
Pembiakan rumput laut berbeda dengan tanaman tingkat tinggi (tanaman berbunga) yang biasanya hidup didarat. Untuk memudahkan mengenal reproduksi rumput laut, kita perlu mengenal beberapa hal, yaitu pola reproduksi, organ reproduksi serta pengaruh faktor lingkungan. Pada tanaman rumput laut dikenal tiga macam pola reproduksi yaitu :
1. reproduksi generatif ( seksual) dengan gamet
2. reproduksi vegetatif (aseksual) dengan spora
3. reproduksi fragmentasi dengan potongan thallus (stek)
Pertukaran generasi antara seksual dengan aseksual merupakan pola yang umumnya terdapat pada tanaman rumput laut, sedangkan pembiakan secara stek biasanya banyak dilakukan dalam usaha membudidayakan dalam usaha membudidayakan rumput laut. Organ reproduksinya meliputi berbagai macam organ dan sel reproduksi antara lain :
  1. Spermatangia / antheridia : organ ini terdapat pada thalli jantan dan berisi spermatia. Hampir semuanya berukuran kecil dan baru dapat terlihat melalui mikroskop. Spermatangia tersebut ada yang berbulu cambuk (flagel) misalnya pada alga cokelat, sedangkan pada kebanyakan algae merah spermatangianya tidak memiliki bulu cambuk
  2. Karposporangia : organ ini berisi karpospora sebagai hasil perkawinan antara gamet jantan (spermatia) dan gamet betina ( karpogonium atau oogonium). Umumnya sporatium bersatu dengan karpogonium yang tingga tetap dalam karposporangium
  3. Sistokarp : Suatu organ yang berbetuk jaringan mengelilingi karposporangia. Organ ini berukuran beasr , misalnya pada gracilaria, hypnea, gigartina dan kadang – kadang Eucheuma. Ada juga yang berukuran kecil, misalnya pada gelidium.
  4. Tetrasporangia : suatu organ yang mengandung tetraspora, umumya berukuran kecil. Ada tiga tipe dasar susunan spora pada tetrasorangia, yaitu krusiat, zonat dan tetrahedral. Tetrasporangia krusiat terdapat pada Gigartina stellata, Gigartina teey, dan Gracilaria coticata. Tipe zonat terdapat pada Eucheuma, sedangkan tipe tetrahedral dapat dijumpai pada jenis Gracilaria folifer dan Gracilaria sp.
Perkembangbiakan E.cottonii sama halnya dengan alga merah pada umumnya yang terkesan majemuk. Pada bentuk – bentuk yang lebih tinggi tingkatnya terjadi pergantian generasi secara morfologik yang teratur. Dalam hal ini dapat saja sporofit dan gametofit kelihatan dari luar sama. Ada tiga tipe tumbuh-tumbuhan , yakni gametofit jantan dan betina dan tumbuh- tumbuhan tetrasporik yang asek sual. Yang terakhir timbul dari karpospora yang terjadi pada tumbuha-tumbuhan betina. Karpospora ini sebagai hasil bergabungnya gamet jantan dan betina. Pada saat persemian, tetra spora dari tumbuh-tumbuhan aseksual pada gilirannya menghasilkan tumbuh-tumbuhan aseksual.
Salah satu sifat yang sangat menarik dari perkembang-biakan alga merah ini adalah sama sekali tiadanya spora atau gamet berenang yang berbulu- getar atau bercambuk. Ini menyimpang dari kebiasaan yang diikuti oleh perkembang biakan jasad hidup yang terjadi dalam media air. Hal ini membuat penyebaran dan pertemuan intim antara sel-sel perkembang-biakan tergantung pada arus, dan karenanya semuanya tergantung pada faktor kesempatan atau keberuntungan (Romimohtarto et al 2007: 76).
Berbagai faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, kadar garam, gerakan air, zata hara (nitrat dan fosfat) dan faktor biologis seperti binatang laut, berpengaruh penting pada reproduksi algae.
2.1.5 Hama dan Penyakit
Hama rumput laut yang biasa dijumpai adalah larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp.). Hama lainnya antara lain ikan beronang (Siganus sp.), bintang laut (Protoneustes nodulus), bulu babi (Diadema dan Tripneustes sp.) dan penyu hijau (Chelonia midas). Serangan ikan beronang umumnya bersifat musiman sehingga setiap daerah memiliki waktu serangan yang berbeda. Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi hama tersebut adalah dengan cara memperbaiki/memodifikasi teknik budidaya, sehingga tanaman budidaya berada pada posisi permukaan air. Selain itu, juga dapat diterapkan pola tanam yang serentak pada lokasi yang luas serta melindungi areal budi daya dengan memasang pagar dari jaring.
Sedangkan penyakit yang dapat menyerang rumput laut adalah penyakit bakterial, jamur dan ice-ice. Penyakit bakterial yang disebabkan oleh Macrocystis pyrifera dan Micrococcus umumnya menyerang budi daya Laminaria sp., sedangkan penyakit jamur yang disebabkan oleh Hydra thalassiiae menyerang bagian gelembung udara rumput laut Sargassum sp. Penyakit ice-ice (sebagian orang menyebutnya sebagai white spot) merupakan kendala utama budi daya rumput laut Kappaphycus/Eucheuma.
Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit tersebut adalah antara lain: pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thallus menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk. Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan penyebab munculnya penyakit tersebut.
2.2 Sistem Budidaya Rumput Laut
Dalam perkembangannya teknik budidaya rumput laut E cottonii. di masing-masing daerah oleh masyarakat disesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi lokasi tersebut.
Secara umum teknik budidaya rumput laut E cottonii. terdiri dari dua sistem yaitu sistem lepas dasar dan sistem dasar (tebar). Sistem yang sering digunakan yaitu sistem tebar karena prosesnya lebih cepat dan tidak memerlukan alat/bahan yang sulit serta lebih ekonomis, rumput laut cukup ditebar di area tambak, yang perlu dilakukan oleh pembudidaya yaitu memperhatikan sirkulasi air dalam tambak. Dalam perkembangannya sistem ini telah berkembang lagi menjadi beberapa metode, yaitu sistem apung, sistem rakit apung dan sistem jalur.
1.             Sistem Dasar (Tebar)
Tahap awal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan budidaya E cottonii dengan sistem dasar dalam tambak, antara lain adalah keadaaan tambak yang akan digunakan (termasuk dasar tambak sebagai substrat), kualitas air dalam tambak dan sekitarnya, serta bibit tanaman bagus, baik jenis dan kualitasnya.
2.             Sistem Lepas Dasar (Patok)
Metode ini merupakan perbaikan dari metode sebelumnya. Dimana pada daerah yang telah ditetapkan (lokasi budidaya) dipasang patok-patok secara teratur berjarak antara 50–100 cm. Pada sisi yang berlawanan dengan jarak 50–100 m juga diberi patok dengan jarak yang sama. Satu patok dengan patok lainnya dihubungkan dengan tali jalur yang telah berisi rumput laut tersebut. Pada jarak 3 meter diberi pelampung kecil yang berfungsi untuk menggerakan tali tersebut setiap saat agar tanaman bebas dari lumpur (adanya sedimentasi).
Penanaman rumput laut dengan metode lepas dasar bersusun dua dilakukan dengan cara pemasangan patok-patok (tiang kayu) pada dasar perairan dengan ketinggian sekitar 100 cm dari dasar perairan. Tali utama direntangkan diantara dua patok pada ketinggian pengikatan sekitar 30 cm di atas dasar perairan (susun pertama) dan juga 30 cm dari susun pertama direntangkan tali utama (susun kedua). Tali ris direntangkan pada tali utama dengan jarak antara tali ris sekitar 25–50 cm sehingga jarak tanam antar ikatan tidak kurang dari 25 cm.

3.             Sistem Rakit Apung
Metode ini sering disebut metode rakit kotak, dibentuk dari empat buah bambu yang dirakit sehingga berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2,5-4 x 5-8 m. Pada rakit tersebut dipasang tali pengikat rumput laut secara membujur dengan jarak 30 cm kemudian rumput laut (bibit) diikat pada tali tersebut. Berat bibit yang digunakan berkisar antara 50-100 gram. Setelah rumput diikat maka rakit tersebut ditarik dan ditempatkan pada lokasi yang telah ditetapkan dengan menggunakan dua buah jangkar pada kedua ujung rakit tersebut dengan kedalaman perairan berkisar antara 0,5–10 meter.
4.             Sistem Apung (Metode Long Line)
Konstruksi metode ini semuanya terbuat dari tali PE. Adapun teknik pembuatan konstruksinya sebagai berikut :
a.              Menyiapkan tali PE Ø 10 mm sebagai tali jangkar. Kedua ujung tali tersebut dihubungkan kemudian dirancang hingga berbentuk persegi panjang berukuran 100 x 30 m. Pada keempat sudut dilengkapi dengan empat buah pelampung yang berfungsi mempertahakan konstruksi agar tetap berada pada permukaan air.
b.             Agar konstruksi tersebut tetap pada posisi yang diharapkan maka pada keempat sudut yang sama diikatkan tali PE Ø 8 mm sebagai tali jangkar yang dilengkapi dengan enam buah jangkar.
c.              Setelah selesai menyiapkan konstruksi maka tahap berikutnya adalah menyiapkan tali jalur yang terbuat dari tali PE Ø 4 mm. Tali tersebut dipotong 30 m sesuai dengan panjang konstruksi.
d.             Pada satu tali jalur dipasang 120 tali PE Ø 2 mm coban (tali titik) berjarak 25 cm yang berfungsi sebagai tempat mengikat bibit yang akan digunakan. Bibit yang digunakan adalah tanaman muda dari hasil budidaya.
e.              Sebelum diikat bibit tersebut dipotong agar ukurannya sesuai dengan bobot yang dikehendaki. Untuk mengetahui perkembangan tanaman, ditentukan beberapa sampel dengan berat rata-rata 100 gram kemudian setiap minggu dilakukan penimbangan sampel tersebut.

5.                      Sistem Jalur (Metode Kombinasi)

Metode ini merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar, pada kedua ujung setiap bambu dihubungkan dengan tali PE Ø 8 mm sehingga membentuk persegi panjang dengan ukuran 5x7 m. perpetak. Satu unit metode ini terdiri dari 7–8 petak dan pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar. Kegiatan penanaman diawali dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE Ø 2 mm. Setelah bibit diikat pada tali jalur maka tali jalur tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang digunakan minimal 25x30 cm.
2.3 Kualitas air laut yang di butuhkan untuk budidaya.
Ø   Salinitas air berkisar antara 12  - 30   dan yang ideal sekitar 15  - 25 .
Ø   Suhu air berkisar antara 180o-300oC dan yang ideal sekitar 200o-250oC.
Ø   pH air dalam tambak berkisar antara 6-9 dan yang ideal sekitar 6,8-8,2.
Ø   Air tidak mengandung lumpur sehingga kekeruhan (turbidity) air masih memungkinkan bagi tanaman untuk menerima sinar matahari.
2.4 Permasalahan yang di hadapi
Usaha budidaya rumput tidak selamanya mengalami keberuntungan, tetapi ada kalanya kita mengalami kegagaln. Tetapi kegagalan itu bisa di cega dan diatasi apabila beberapa faktor berikut terpenuhi diantaranya ialah, Ketersediaan bibit, arus, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran dan tenaga kerja.

a) Ketersediaan Bibit; Lokasi yang terdapat stock alami rumput laut yang akan dibudidaya, merupakan petunjuk lokasi tersebut cocok untuk usaha budidaya rumput laut. Apabila tidak terdapat sumber bibit dapat memperolehnya dari lokasi lain dan sebaiknya didatangkan dari daerah terdekat dengan memperhatikan kaidah-kaidah penanganan bibit dan pengangkutan yang baik. Pada lokasi dimana Euchema cottonii bisa tumbuh, biasanya terdapat pula jenis lain seperti Gracilaria, dan Sargassum.

b) Arus; Rumput laut merupakan organisma yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya atau melalui sintesa bahan makanan di sekitarnya dengan bantuan sinar matahari. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Gerakan air akan membawa unsur hara, menghilangkan kotoran yang menempel pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi suhu air yang besar. Kecepatan arus yang baik adalah 20-40 cm/detik dengan suhu berkisar 20-28oC dan pH berkisar 7,3-8,2. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adalah adanya pertumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan cenderung miring ke satu arah

c) Dasar Perairan; Dasar perairan yang sesuai adalah berupa pecahanpecahan karang dan pasir kasar. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan indikator adanya gerakan air yang baik, sedangkan apabila dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras, menunjukkan dasar6 itu terkena gelombang yang besar dan apabila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang kurang.

d) Kedalaman; Kedalaman perairan sangat tergantung dari metode budi daya yang akan dipilih. Metode lepas dasar dilakukan pada kedalaman perairan tidak kurang dari 30-60 cm pada waktu surut terendah, sedangkan metode rakit apung, rawai dan jalur pada perairan dengan kedalaman sekitar 2-15 m. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.

e) Kadar Garam; K. alvarezii merupakan rumput laut yang relatif tidak tahan terhadap kisaran kadar garam yang luas. Kadar garam yang sesuai untuk pertumbuhannya adalah berkisar 28-35 ppt. Salinitas yang baik berkisar antara 28 - 34 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.

f) Kecerahan; Rumput laut memerlukan cahaya sebagai sumber energi guna pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangannya yang normal. Lokasi yang potensial hendaknya dipilih yang memiliki kecerahan air tinggi. Lokasi budidaya rumput laut sebaiknya pada perairan yang jernih atau tingkat kecerahan yang tinggi sekitar 2-5 m. Air keruh mengandung lumpur dapat menghalangi cahaya matahari ke dalam air serta dapat menutupi permukaan thallus yang dapat menyebabkan thallus membusuk sehingga mudah patah. Lokasi yang baik bagi budidaya rumput laut memiliki kecerahan lebih dari 1,5 m pada pengukuran dengan alat secchi disk.

g) Organisme Pengganggu; Lokasi budidaya diusahakan pada perairan yang tidak banyak terdapat organisme pengganggu misalnya ikan beronang, bintang laut, bulu babi dan penyu serta tanaman penempel.
h) Pencemaran; Lokasi yang telah tercemar, baik yang berasal dari limbah rumah tangga, aktivitas pertanian, maupun limbah industri harus dihindari untuk budidaya rumput laut, Sebaiknya dihindari pula lokasi budidaya yang berdekatan dengan muara sungai, karena terutama pada saat musim penghujan, merupakan sumber sampah dan kotoran lumpur. Kondisi ini akan menutupi permukaan thallus rumputlaut dan akan mempengaruhi pertumbuhannya.

i) Tenaga kerja; Dalam memilih tenaga kerja yang akan ditempatkan di lapangan sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi budidaya, dan memiliki kemauan bekerja. Hal ini dapat menghemat biaya.

2.5 Upaya pengembangan yang dapat dilakukan

E. cottonii dan E. spinosum merupakan rumput laut yang secara luas diperdagangkan, baik untuk keperluan bahan baku industri di dalam negeri maupun untuk ekspor. Sedangkan E. edule dan Hypnea sp. hanya sedikit sekali diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya. Hypnea biasanya dimanfaatkan oleh industri, sebaliknya E. cottonii dan E. spinosum dibudidayakan oleh masyarakat pantai. Jenis lainnya Chondrus sp., Gigartina sp. dan Iridaea sp. tidak dapat ditemukan di Indonesia.Dari kedua jenis tersebut E. cottonii yang paling banyak dibudidayakan karena permintaan pasarnya sangat besar.s



III. METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan

Alat :
·         Gergaji
·         Parang
·         Pisau
·         Gunting
·         Jangkar
Bahan :
·         Rumput Laut (E.cottonii)
·         Lilin
·         Tali Ris
·         Tali Rumpun
·         Bambu

3.2 Waktu dan Tempat
              Pelaksanaan praktikum ini bertempat di pantai Jumiang, Desa Pademawu, Pamekasan, dan membutuhkan waktu tujuh minggu yang di laksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012
3.3 Tahapan Kegiatan
Tahapan-tahapan dalam praktikum ini yaitu :
1.      Persiapan praktikum meliputi
Persiapan rakit, tali ris, dan pengikat rumput laut.
a.       Memotong bambu dengan ukuran 8 m sebanyak 7 buah
b.      Merakit bambu yang telah di potong untuk dibentuk menjadi rakit
c.       Memotong tali ris dengan panjang 9 m lalu membuat talli pengikat rumput laut dengan jarak 20 cm per tali sehingga dalam satu ris terdapat kurang lebih 60 titik rumput laut.
d.      Mengikat rumpput laut eucheuma cottonii dengan berat tiap bibit 20-25 gram.
2.  Pengumpulan Data
ü  Mengamati pertumbuhan sampel rumput laut .
ü  Mengamati hama dan penyakit pada sampel rumput laut.
ü  Mengukur parametr kualitas air.
3.  Anallisa data
3.4 Metode pengumpulan data (rumput laut, kualitas air)
Pengumpulan data praktikum ini meliputi :
1.      menimbang berat rumput laut sampel untuk tiap titik menggunakan timbangan analitik dan mengukur panjang rumput laut. Mencatat hasil pengukuran rumput laut sebelum dilakukan penanaman.
2.      Menimbang rumput laut tiap jenis Eucheuma cottonii Maumere dan Eucheuma cottonii Lokal yang akan diikat pada bambu.
3.      Menimbang bobot, mengukur panjang, dan mengamati keberadaan penyakit ice-ice dan lumut pada 3 titik sampel untuk semua perlakuan spesies Eucheuma cottonii Maumere maupun Eucheuma cottonii Lokal yang telah di beri label tiap minggu selama 6 minggu.
4.      Melakukan pengamatan kualitas perairan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput lauttiap pagi dan sore hari selama 6 minggu meliputi.
a. Mengukur suhu perairan
b. Mngukur salinitas perairan menggunakan refraktrometer
c. Mengukur pH perairan menggunakan pH pen.
d. Mengukur kecerahan perairan menggunakan sechidisk.
e. Mengukur kecepatan arus air menggunakan current meeter.


DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012.Klasifikasi Rumput Laut.(http//klasifikasi rumput laut.htm). di akses
              tanggal 31 Mei 2012.
Jana Anggadiredjo. 2006.Rumput laut E. Cottoni. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
Romimohtarto. 2007. Faktor Pertumbuhan Rumput Laut. Surabaya: Yudhistira.
Triajie, Haryo. 2012. Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Budidaya Laut. Universitas Trunojoyo        Madura Banngkalan.
www.bi.go.id, 2007. Panduan Budidaya Rumput Laut. Di akses tanggal 31 Mei 2012.
www.indonesia.go.id., 2004. Rumput Laut. Di akses tanggal 31 Mei 2012.


0 komentar:

Posting Komentar