I.
PENDAHULUAN
I. Latar
belakang
Budidaya
laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang
mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun
dalam faktanya perikanan tangkap masih memberikan kontribusi yang cukup tinggi
pada sektor perikanan,berdasarkan data dari FAO tahun 2002, produksi perikanan
tangkap dunia cenderung mengalami penurunan akibat eksploitasi dan berkurangnya
sumberdaya ikan di laut. Sedangkan budidaya cenderung mengalami peningkatan
yang cukup signikan. Berdasarkan hasil kajian Ditjen Perikanan Budidaya tahun
2004, diperkirakan terdapat 8,36 juta ha perairan laut yang secara indikatif
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut di Indonesia
(www.indonesia.go.id., 2004).
Dalam pemanfaatan sumber daya yang ada,
Indonesia sangat berpotensi untuk pengembangan potensi budidaya tanaman laut
seperti rumput laut. Mengingat lautan di Indonesia dengan garis pantai sekitar
81.000 km diyakini memiliki potensi rumput laut yang sangat tinggi serta
pulau-pulau dengan dasar perairan berkarang dan berpasir serta dukungan
perairan yang terlindung dan relatif tenang sangat menunjang dalam usaha
budidaya rumput laut. Tercatat
sedikitnya ada 555 jenis rumput laut di perairan Indonesia, diantaranya ada 55
jenis yang diketahui mempunyai nilai ekonomis tinggi, diantaranya Eucheuma sp,
Gracilaria dan Gelidium (www.bi.go.id, 2007)
Dalam budidaya
rumput laut, di
masing-masing daerah berkembang sesuai dengan kebiasaan dan kondisi lokasi
perairan di wilayah tersebut. Ada beberapa metode yang dapat dilakukan, seperti
metode rakit apung dan metode tali panjang.
1.2 Manfaat dan
Tujuan Praktikum
1.2.1
Tujuan Praktikum
Praktikum
ini bertujuan mempelajari secara langsung teknik budidaya rumput laut
E.cottonii dengan metode rakit apung.
1.2.2
Manfaat :
Diketahuinya
teknik budidaya rumput laut yang baik dan tepat sehingga memperoleh produksi
yang tinggi.
1.3 Rumusan
Masalah
Dalam metode budidaya perairan,
khususnya rumput laut, selama ini banyak metode – metode seperti long line /
tali panjang, rakit apung yang belum banyak diketahui oleh khalayak orang
banyak. Seperti pemilihan tempat, bahan / material, tata cara penanaman, hingga
pemanenan.
II.
TINJAUN PUSTAKA
2.1 Rumpu Laut
(E.cottonii)
Rumput
laut Eucheuma cottonii mempunyai ciri-ciri yaitu thallus
silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus
(tonjolan-tonjolan), berwarna cokelat kemerahan, cartilageneus (menyerupai
tulang rawan atau muda), percabangan bersifat alternates (berseling), tidak
teratur serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus
(system percabangan tiga-tiga) Rumput laut Eucheuma cottonii memerlukan sinar
matahari untuk proses fotosintesa. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya
mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar
matahari masih mampu mencapainya. Di alam, jenis ini biasanya hidup berkumpul
dalam satu komunitas atau koloni (Jana-Anggadiredjo, 2006).
2.1.2
Taksonomi dan Morfologi Rumput Laut (E.cottonii)
Dari segi morfologi Rumput Laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan
antara akar, batang, dan daun. Bentuk tersebut adalah thalus belaka. Bentuk
thalus Rumput Laut bermacam-macam, antara lain bulat, pipih, gepeng dan bulat
seperti kantong, rambut dan sebagainya. Berdasarkan jumlah sel yang menyusunnya
alga ini ada yang tersusun uniseluler (satu sel) atau multiseluler
(banyak sel). Pada makro alga, jenis percabangan antara lain adalah pectinate
(berderet searah pada thalus utama), pinnate (bercabag dua-dua sepanjang thalus
utama secara berselang selang), ferticilate (cabangnya berpusat melingkari
aksis atau sumbu utama) dan ada juga yang sederhana, tidak bercabang.
Divisi: Rhodophyta
Kelas: Rhodophyceae
Sub kelas: Florideophycidae
Bangsa: Gigantinales
Suku: Solieraceae
Marga: Eucheuma
Jenis: Eucheuma Cottonii
Rumput Laut atau alga tumbuh hampir diseluruh bagian hidrofis sampai batas
kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya beberapa jenis Rumput Laut
hidupnya kosmopolit,mendunia. Rumput Laut hidup sebagai fitobentho dengan
menancapkan dirinya pada subtrat lumpur,pasir dan seterusnya. Perkembangan
Rumput Laut pada dasarnya ada dua macam,yaitu secara kawin(generatif) antara
gamet jantan dengan gamet betina dan secara tidak kawin vegetatif,konjugatif
dan peresponan.
Rumput Laut
terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%)
serat kasar (3%) dan abu (22,25%). Selain karbohidrat, protein, lemak dan
serat, Rumput Laut juga mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin
(A,B,C,D, E dan K) dan makro mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan
selenium serta mikro mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan
asam amino, vitamin dan mineral Rumput Laut mencapai 10 -20 kali lipat
dibandingkan dengan tanaman daragepeng, bercabang berselang tidak teratur, di
atau tikotomous (DPK). (Anonymous. 2012)
(Sumber:http://chaplain-zee.blog.friendster.com/2008/11/proses-pengepakan-dan-transportasi-bibit-rumput-laut-eucheuma-cottonii-di-lombok-tengah-nusa-tenggara-barat/)
2.1.3
Habitat
Eucheuma cottonii
tumbuh di rataan terumbu karang dangkal sampai kedalaman 6 m, melekat di batu
karang, cangkang kerang dan benda keras lainnya. Faktor yang sangat berpengaruh
pada pertumbuhan jenis ini yaitu cukup arus dan salinitas (kadar garam) yang
stabil, yaitu berkisar 28-34 per mil. Oleh karenanya rumput laut jenis ini akan
hidup baik bila jauh dari muara sungai. Jenis ini telah dibudidayakan dengan
cara diikat pada tali sehingga tidak perlu melekat pada substrat karang atau
benda lainnya (Jana-Anggadiredjo, 2006). Jana-Anggadiredjo,
2006. Rumput Laut. Penebar
Swadaya, Jakarta.
2.1.4 REPRODUKSI
Pembiakan
rumput laut berbeda dengan tanaman tingkat tinggi (tanaman berbunga) yang
biasanya hidup didarat. Untuk memudahkan mengenal reproduksi rumput laut, kita
perlu mengenal beberapa hal, yaitu pola reproduksi, organ reproduksi serta
pengaruh faktor lingkungan. Pada tanaman rumput laut dikenal tiga macam pola
reproduksi yaitu :
1. reproduksi generatif ( seksual)
dengan gamet
2. reproduksi vegetatif (aseksual)
dengan spora
3. reproduksi fragmentasi dengan
potongan thallus (stek)
Pertukaran
generasi antara seksual dengan aseksual merupakan pola yang umumnya terdapat
pada tanaman rumput laut, sedangkan pembiakan secara stek biasanya banyak
dilakukan dalam usaha membudidayakan dalam usaha membudidayakan rumput laut.
Organ reproduksinya meliputi berbagai macam organ dan sel reproduksi antara
lain :
- Spermatangia / antheridia : organ ini terdapat
pada thalli jantan dan berisi spermatia. Hampir semuanya berukuran kecil
dan baru dapat terlihat melalui mikroskop. Spermatangia tersebut ada yang
berbulu cambuk (flagel) misalnya pada alga cokelat, sedangkan pada
kebanyakan algae merah spermatangianya tidak memiliki bulu cambuk
- Karposporangia : organ ini berisi karpospora
sebagai hasil perkawinan antara gamet jantan (spermatia) dan gamet betina
( karpogonium atau oogonium). Umumnya sporatium bersatu dengan karpogonium
yang tingga tetap dalam karposporangium
- Sistokarp : Suatu organ yang berbetuk jaringan
mengelilingi karposporangia. Organ ini berukuran beasr , misalnya pada gracilaria,
hypnea, gigartina dan kadang – kadang Eucheuma. Ada juga
yang berukuran kecil, misalnya pada gelidium.
- Tetrasporangia : suatu organ yang mengandung
tetraspora, umumya berukuran kecil. Ada tiga tipe dasar susunan spora pada
tetrasorangia, yaitu krusiat, zonat dan tetrahedral. Tetrasporangia
krusiat terdapat pada Gigartina stellata, Gigartina teey,
dan Gracilaria coticata. Tipe zonat terdapat pada Eucheuma,
sedangkan tipe tetrahedral dapat dijumpai pada jenis Gracilaria folifer
dan Gracilaria sp.
Perkembangbiakan
E.cottonii sama halnya dengan alga merah pada umumnya yang terkesan
majemuk. Pada bentuk – bentuk yang lebih tinggi tingkatnya terjadi pergantian
generasi secara morfologik yang teratur. Dalam hal ini dapat saja sporofit dan
gametofit kelihatan dari luar sama. Ada tiga tipe tumbuh-tumbuhan , yakni
gametofit jantan dan betina dan tumbuh- tumbuhan tetrasporik yang asek sual. Yang
terakhir timbul dari karpospora yang terjadi pada tumbuha-tumbuhan betina.
Karpospora ini sebagai hasil bergabungnya gamet jantan dan betina. Pada saat
persemian, tetra spora dari tumbuh-tumbuhan aseksual pada gilirannya
menghasilkan tumbuh-tumbuhan aseksual.
Salah satu
sifat yang sangat menarik dari perkembang-biakan alga merah ini adalah sama
sekali tiadanya spora atau gamet berenang yang berbulu- getar atau bercambuk.
Ini menyimpang dari kebiasaan yang diikuti oleh perkembang biakan jasad hidup
yang terjadi dalam media air. Hal ini membuat penyebaran dan pertemuan intim
antara sel-sel perkembang-biakan tergantung pada arus, dan karenanya semuanya
tergantung pada faktor kesempatan atau keberuntungan (Romimohtarto et al 2007:
76).
Berbagai
faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, kadar garam, gerakan air, zata hara
(nitrat dan fosfat) dan faktor biologis seperti binatang laut, berpengaruh
penting pada reproduksi algae.
2.1.5 Hama dan Penyakit
Hama
rumput laut yang biasa dijumpai adalah larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp.). Hama lainnya antara lain ikan beronang (Siganus sp.), bintang laut (Protoneustes nodulus), bulu babi (Diadema dan Tripneustes sp.) dan penyu hijau (Chelonia midas). Serangan ikan beronang umumnya bersifat musiman
sehingga setiap daerah memiliki waktu serangan yang berbeda. Upaya yang
dilakukan untuk menanggulangi hama tersebut adalah dengan cara
memperbaiki/memodifikasi teknik budidaya, sehingga tanaman budidaya berada pada
posisi permukaan air. Selain itu, juga dapat diterapkan pola tanam yang
serentak pada lokasi yang luas serta melindungi areal budi daya dengan memasang
pagar dari jaring.
Sedangkan
penyakit yang dapat menyerang rumput laut adalah penyakit bakterial, jamur dan
ice-ice. Penyakit bakterial yang disebabkan oleh Macrocystis pyrifera dan Micrococcus umumnya menyerang budi daya Laminaria sp., sedangkan penyakit jamur
yang disebabkan oleh Hydra thalassiiae
menyerang bagian gelembung udara rumput laut Sargassum sp. Penyakit ice-ice (sebagian orang menyebutnya sebagai
white spot) merupakan kendala utama budi daya rumput laut Kappaphycus/Eucheuma.
Gejala
yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit tersebut adalah
antara lain: pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thallus menjadi
pucat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thallus pada beberapa
cabang menjadi putih dan membusuk. Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh
perubahan lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang
sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga
merupakan penyebab munculnya penyakit tersebut.
2.2
Sistem Budidaya Rumput Laut
Dalam
perkembangannya teknik budidaya rumput laut E
cottonii. di masing-masing daerah oleh masyarakat disesuaikan dengan
kebiasaan dan kondisi lokasi tersebut.
Secara
umum teknik budidaya rumput laut E cottonii.
terdiri dari dua sistem yaitu sistem lepas dasar dan sistem dasar (tebar).
Sistem yang sering digunakan yaitu sistem tebar karena prosesnya lebih cepat
dan tidak memerlukan alat/bahan yang sulit serta lebih ekonomis, rumput laut
cukup ditebar di area tambak, yang perlu dilakukan oleh pembudidaya yaitu
memperhatikan sirkulasi air dalam tambak. Dalam perkembangannya sistem ini
telah berkembang lagi menjadi beberapa metode, yaitu sistem apung, sistem rakit
apung dan sistem jalur.
1.
Sistem
Dasar (Tebar)
Tahap awal
yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan budidaya E cottonii dengan
sistem dasar dalam tambak, antara lain adalah keadaaan
tambak yang akan digunakan (termasuk dasar tambak sebagai substrat), kualitas
air dalam tambak dan sekitarnya, serta bibit tanaman bagus, baik jenis dan
kualitasnya.
2.
Sistem
Lepas Dasar (Patok)
Metode
ini merupakan perbaikan dari metode sebelumnya. Dimana pada daerah yang telah
ditetapkan (lokasi budidaya) dipasang patok-patok secara teratur berjarak
antara 50–100 cm. Pada sisi yang berlawanan dengan jarak 50–100 m juga diberi
patok dengan jarak yang sama. Satu patok dengan patok lainnya dihubungkan dengan
tali jalur yang telah berisi rumput laut tersebut. Pada jarak 3 meter diberi
pelampung kecil yang berfungsi untuk menggerakan tali tersebut setiap saat agar
tanaman bebas dari lumpur (adanya sedimentasi).
Penanaman
rumput laut dengan metode lepas dasar bersusun dua dilakukan dengan cara
pemasangan patok-patok (tiang kayu) pada dasar perairan dengan ketinggian
sekitar 100 cm dari dasar perairan. Tali utama direntangkan diantara dua patok
pada ketinggian pengikatan sekitar 30 cm di atas dasar perairan (susun pertama)
dan juga 30 cm dari susun pertama direntangkan tali utama (susun kedua). Tali
ris direntangkan pada tali utama dengan jarak antara tali ris sekitar 25–50 cm
sehingga jarak tanam antar ikatan tidak kurang dari 25 cm.
3.
Sistem
Rakit Apung
Metode
ini sering disebut metode rakit kotak, dibentuk dari empat buah bambu yang
dirakit sehingga berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2,5-4 x 5-8 m. Pada
rakit tersebut dipasang tali pengikat rumput laut secara membujur dengan jarak
30 cm kemudian rumput laut (bibit) diikat pada tali tersebut. Berat bibit yang
digunakan berkisar antara 50-100 gram. Setelah rumput diikat maka rakit
tersebut ditarik dan ditempatkan pada lokasi yang telah ditetapkan dengan
menggunakan dua buah jangkar pada kedua ujung rakit tersebut dengan kedalaman
perairan berkisar antara 0,5–10 meter.
4.
Sistem
Apung (Metode Long Line)
Konstruksi
metode ini semuanya terbuat dari tali PE. Adapun teknik pembuatan konstruksinya
sebagai berikut :
a.
Menyiapkan tali PE Ø 10
mm sebagai tali jangkar. Kedua ujung tali tersebut dihubungkan kemudian
dirancang hingga berbentuk persegi panjang berukuran 100 x 30 m. Pada keempat
sudut dilengkapi dengan empat buah pelampung yang berfungsi mempertahakan
konstruksi agar tetap berada pada permukaan air.
b.
Agar konstruksi
tersebut tetap pada posisi yang diharapkan maka pada keempat sudut yang sama
diikatkan tali PE Ø 8 mm sebagai tali jangkar yang dilengkapi dengan enam buah
jangkar.
c.
Setelah selesai
menyiapkan konstruksi maka tahap berikutnya adalah menyiapkan tali jalur yang
terbuat dari tali PE Ø 4 mm. Tali tersebut dipotong 30 m sesuai dengan panjang
konstruksi.
d.
Pada satu tali jalur
dipasang 120 tali PE Ø 2 mm coban (tali titik) berjarak 25 cm yang berfungsi
sebagai tempat mengikat bibit yang akan digunakan. Bibit yang digunakan adalah
tanaman muda dari hasil budidaya.
e.
Sebelum diikat bibit
tersebut dipotong agar ukurannya sesuai dengan bobot yang dikehendaki. Untuk
mengetahui perkembangan tanaman, ditentukan beberapa sampel dengan berat
rata-rata 100 gram kemudian setiap minggu dilakukan penimbangan sampel
tersebut.
5.
Sistem
Jalur (Metode Kombinasi)
Metode
ini merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka
metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar, pada kedua ujung setiap
bambu dihubungkan dengan tali PE Ø 8 mm sehingga membentuk persegi panjang
dengan ukuran 5x7 m. perpetak. Satu unit metode ini terdiri dari 7–8 petak dan
pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar. Kegiatan penanaman diawali dengan
mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE Ø 2 mm.
Setelah bibit diikat pada tali jalur maka tali jalur tersebut dipasang pada
kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang digunakan minimal 25x30
cm.
2.3 Kualitas air laut yang di
butuhkan untuk budidaya.
Ø Salinitas air
berkisar antara 12
- 30
dan yang ideal
sekitar 15
- 25
.
Ø Suhu air
berkisar antara 180o-300oC dan yang ideal sekitar 200o-250oC.
Ø pH air dalam
tambak berkisar antara 6-9 dan yang ideal sekitar 6,8-8,2.
Ø Air tidak
mengandung lumpur sehingga kekeruhan (turbidity) air masih memungkinkan bagi
tanaman untuk menerima sinar matahari.
2.4 Permasalahan
yang di hadapi
Usaha
budidaya rumput tidak selamanya mengalami keberuntungan, tetapi ada kalanya
kita mengalami kegagaln. Tetapi kegagalan itu bisa di cega dan diatasi apabila
beberapa faktor berikut terpenuhi diantaranya ialah, Ketersediaan bibit, arus,
kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran dan tenaga
kerja.
a)
Ketersediaan Bibit; Lokasi yang terdapat stock alami rumput laut yang akan
dibudidaya, merupakan petunjuk lokasi tersebut cocok untuk usaha budidaya
rumput laut. Apabila tidak terdapat sumber bibit dapat memperolehnya dari
lokasi lain dan sebaiknya didatangkan dari daerah terdekat dengan memperhatikan
kaidah-kaidah penanganan bibit dan pengangkutan yang baik. Pada lokasi dimana
Euchema cottonii bisa tumbuh, biasanya terdapat pula jenis lain seperti
Gracilaria, dan Sargassum.
b)
Arus; Rumput laut merupakan organisma yang memperoleh makanan melalui aliran
air yang melewatinya atau melalui sintesa bahan makanan di sekitarnya dengan
bantuan sinar matahari. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya
kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang
besar terhadap salinitas maupun suhu air. Gerakan air akan membawa unsur hara,
menghilangkan kotoran yang menempel pada thallus, membantu pengudaraan, dan
mencegah adanya fluktuasi suhu air yang besar. Kecepatan arus yang baik adalah
20-40 cm/detik dengan suhu berkisar 20-28oC dan pH berkisar 7,3-8,2. Indikator
suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adalah adanya pertumbuhan karang
lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan cenderung miring ke satu
arah
c)
Dasar Perairan; Dasar perairan yang sesuai adalah berupa pecahanpecahan karang
dan pasir kasar. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan indikator
adanya gerakan air yang baik, sedangkan apabila dasar perairan yang terdiri
dari karang yang keras, menunjukkan dasar6 itu terkena gelombang yang besar dan
apabila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang
kurang.
d)
Kedalaman; Kedalaman perairan sangat tergantung dari metode budi daya yang akan
dipilih. Metode lepas dasar dilakukan pada kedalaman perairan tidak kurang dari
30-60 cm pada waktu surut terendah, sedangkan metode rakit apung, rawai dan
jalur pada perairan dengan kedalaman sekitar 2-15 m. Kondisi ini untuk
menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar
matahari.
e)
Kadar Garam; K. alvarezii merupakan rumput laut yang relatif tidak tahan
terhadap kisaran kadar garam yang luas. Kadar garam yang sesuai untuk
pertumbuhannya adalah berkisar 28-35 ppt. Salinitas yang baik berkisar antara
28 - 34 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt. Untuk memperoleh perairan
dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara
sungai.
f)
Kecerahan; Rumput laut memerlukan cahaya sebagai sumber energi guna pembentukan
bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangannya yang normal.
Lokasi yang potensial hendaknya dipilih yang memiliki kecerahan air tinggi.
Lokasi budidaya rumput laut sebaiknya pada perairan yang jernih atau tingkat
kecerahan yang tinggi sekitar 2-5 m. Air keruh mengandung lumpur dapat
menghalangi cahaya matahari ke dalam air serta dapat menutupi permukaan thallus
yang dapat menyebabkan thallus membusuk sehingga mudah patah. Lokasi yang baik
bagi budidaya rumput laut memiliki kecerahan lebih dari 1,5 m pada pengukuran
dengan alat secchi disk.
g)
Organisme Pengganggu; Lokasi budidaya diusahakan pada perairan yang tidak
banyak terdapat organisme pengganggu misalnya ikan beronang, bintang laut, bulu
babi dan penyu serta tanaman penempel.
h)
Pencemaran; Lokasi yang telah tercemar, baik yang berasal dari limbah rumah
tangga, aktivitas pertanian, maupun limbah industri harus dihindari untuk
budidaya rumput laut, Sebaiknya dihindari pula lokasi budidaya yang berdekatan
dengan muara sungai, karena terutama pada saat musim penghujan, merupakan
sumber sampah dan kotoran lumpur. Kondisi ini akan menutupi permukaan thallus
rumputlaut dan akan mempengaruhi pertumbuhannya.
i)
Tenaga kerja; Dalam memilih tenaga kerja yang akan ditempatkan di lapangan
sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi budidaya, dan
memiliki kemauan bekerja. Hal ini dapat menghemat biaya.
2.5
Upaya pengembangan yang dapat dilakukan
E. cottonii
dan E. spinosum merupakan rumput laut
yang secara luas diperdagangkan, baik untuk keperluan bahan baku industri di
dalam negeri maupun untuk ekspor. Sedangkan E.
edule dan Hypnea sp. hanya
sedikit sekali diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya. Hypnea biasanya dimanfaatkan oleh
industri, sebaliknya E. cottonii dan E. spinosum dibudidayakan oleh
masyarakat pantai. Jenis lainnya Chondrus
sp., Gigartina sp. dan Iridaea sp. tidak dapat ditemukan di
Indonesia.Dari kedua jenis tersebut E.
cottonii yang paling banyak dibudidayakan karena permintaan pasarnya sangat
besar.s
III. METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
Alat :
·
Gergaji
·
Parang
·
Pisau
·
Gunting
·
Jangkar
Bahan :
·
Rumput Laut (E.cottonii)
·
Lilin
·
Tali Ris
·
Tali Rumpun
·
Bambu
3.2 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan
praktikum ini bertempat di pantai Jumiang, Desa Pademawu, Pamekasan, dan
membutuhkan waktu tujuh minggu yang di laksanakan pada bulan Maret sampai Mei
2012
3.3 Tahapan Kegiatan
Tahapan-tahapan dalam praktikum ini yaitu :
1.
Persiapan praktikum meliputi
Persiapan
rakit, tali ris, dan pengikat rumput laut.
a. Memotong bambu dengan ukuran 8 m sebanyak 7
buah
b. Merakit bambu yang telah di potong untuk
dibentuk menjadi rakit
c. Memotong tali ris dengan panjang 9 m lalu
membuat talli pengikat rumput laut dengan jarak 20 cm per tali sehingga dalam
satu ris terdapat kurang lebih 60 titik rumput laut.
d. Mengikat rumpput laut eucheuma cottonii
dengan berat tiap bibit 20-25 gram.
2. Pengumpulan
Data
ü
Mengamati pertumbuhan sampel rumput laut .
ü
Mengamati hama dan penyakit pada sampel rumput laut.
ü
Mengukur parametr kualitas air.
3. Anallisa
data
3.4 Metode pengumpulan data (rumput laut,
kualitas air)
Pengumpulan data praktikum ini meliputi :
1.
menimbang berat rumput laut sampel untuk tiap titik menggunakan timbangan
analitik dan mengukur panjang rumput laut. Mencatat hasil pengukuran rumput
laut sebelum dilakukan penanaman.
2.
Menimbang rumput laut tiap jenis
Eucheuma cottonii Maumere dan
Eucheuma cottonii Lokal yang akan diikat pada bambu.
3.
Menimbang bobot, mengukur panjang, dan mengamati keberadaan penyakit
ice-ice dan lumut pada 3 titik sampel untuk semua perlakuan spesies Eucheuma cottonii Maumere maupun Eucheuma cottonii Lokal yang telah di
beri label tiap minggu selama 6 minggu.
4.
Melakukan pengamatan kualitas perairan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan rumput lauttiap pagi dan sore hari selama 6 minggu meliputi.
a. Mengukur suhu perairan
b. Mngukur salinitas perairan menggunakan
refraktrometer
c. Mengukur pH perairan menggunakan pH pen.
d. Mengukur kecerahan perairan menggunakan
sechidisk.
e. Mengukur kecepatan arus air menggunakan
current meeter.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous. 2012.Klasifikasi Rumput Laut.(http//klasifikasi rumput laut.htm). di
akses
tanggal
31 Mei 2012.
Jana Anggadiredjo. 2006.Rumput laut E. Cottoni. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
Romimohtarto. 2007. Faktor Pertumbuhan Rumput Laut. Surabaya: Yudhistira.
Triajie, Haryo. 2012. Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Budidaya Laut. Universitas Trunojoyo
Madura Banngkalan.
www.bi.go.id, 2007. Panduan Budidaya Rumput Laut. Di akses tanggal 31 Mei 2012.
www.indonesia.go.id., 2004. Rumput Laut. Di akses tanggal 31 Mei
2012.
0 komentar:
Posting Komentar