LAPORAN
PRAKTIKUM
EKOLOGI
KUANTITATIF
Onod
Burhanuddin Rafsanjani
08.03.411.00041
PROGRAM
STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO
MADURA
2011
BAB
I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Analisa
vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk
(struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu ekosistem
seperti mangrove, terumbu karang, dan lamun, maka kegiatan analisa vegetasi
erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak
contoh untuk mewakili daerah tersebut. Di dalam sampling ini ada tiga hal yang
perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan
teknik analisa vegetasi yang digunakan.
Prinsip
penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup besar agar individu jenis yang
ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil agar
individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau
pengabaian. Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi jenis
dan jika tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat
mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik Kurva Spesies Area
(KSA). Dengan menggunakan kurva ini, maka dapat ditetapkan : luas minimum suatu
petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur, jumlah minimal petak ukur
agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur yang mewakili jika
menggunakan metode jalur.
Jika berbicara
mengenai vegetasi, tidak bisa terlepas dari komponen penyusun vegetasi itu sendiri
dan komponen tersebut yang menjadi fokus dalam pengukuran vegetasi. Komponen
tumbuh-tumbuhan penyusun suatu vegetasi yang pada umumnya terdiri dari :
1. Belukar (Shrub) : Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar,
dan memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak subtangkai.
2. Epifit (Epiphyte) : Tumbuhan yang hidup dipermukaan
tumbuhan lain (biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin hidup sebagai parasit
atau hemi-parasit.
3. Paku-pakuan (Fern) : Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai,
biasanya memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana pada rhizoma
tersebut keluar tangkai daun.
4. Palma (Palm) : Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu,
lurus dan biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun pertama. Daun lebih
panjang dari 1 meter dan biasanya terbagi dalam banyak anak daun.
5. Pemanjat (Climber) : Tumbuhan seperti kayu atau berumput
yang tidak berdiri sendiri namun merambat atau memanjat untuk penyokongnya
seperti kayu atau belukar.
6. Terna (Herb) : Tumbuhan yang merambat ditanah, namun tidak
menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus, biasanya memiliki bunga
yang menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai lembut
yang kadang-kadang keras.
7. Pohon (Tree) : Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi
dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari
20 cm.
Untuk tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut tingkat permudaannya, yaitu :
a. Semai (Seedling) : Permudaan mulai dari kecambah sampai
anakan kurang dari 1.5 m.
b. Pancang (Sapling) : Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai
anakan berdiameter kurang dari 10 cm.
c. Tiang (Poles) : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang
dari 20 cm.
Adapun parameter vegetasi yang diukur
dilapangan secara langsung adalah :
1. Nama jenis (lokal atau botanis)
2. Jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan
3. Penutupan tajuk untuk mengetahui persentase penutupan vegetasi terhadap
lahan
4. Diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan berguna untuk
Menghitung volume pohon.
5. Tinggi pohon, baik tinggi total (TT) maupun tinggi bebas cabang (TBC),
penting
untuk mengetahui stratifikasi dan
bersama diameter batang dapat diketahui ditaksir ukuran volume pohon.
Hasil
pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui kondisi kawasan
yang diukur secara kuantitatif. Dibawah ini adalah beberapa rumus yang penting
diperhatikan dalam menghitung hasil analisa vegetasi, yaitu : Indeks Nilai Penting (INP), Keanekaragaman Jenis, dan Indeks Dominasi.
1.2 Perumusan
Masalah
·
Bagaimana nilai INP,
dan struktur komunitas mangrove di daerah bancaran?
·
Bagaimana persen
penutupan terumbu karang di perairan Sepuluh?
·
Bagaimana persen pe penutupan,
biomassa, substrat lamun di perairan Sepuluh?
I.3 Tujuan
·
Mengidentifikasi, mengetahui
Indeks Nilai Penting (INP) dan stuktur komunitas mangrove di daerah bancaran.
·
Mengeidentifikasi dan mengetahui
persen penutupan terumbu karang di perairan Sepuluh.
·
Mengeidentifikasi dan mengetahui
persen penutupan, biomassa, substrat lamun di perairan Sepuluh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mangrove
Mangrove
adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan
daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali
ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian
menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. (Irwanto, 2006).
Mangrove
adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Selain itu Hutan
mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara
32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan. (Eden Surasana. 1990)
Fungsi dan manfaat dari mangrove itu sendiri terbagi
menjadi 3 kelompok yaitu :
- Fungsi
Fisik
- Menjaga garis pantai agar tetap
stabil dan kokoh dari abrasi air laut
- Melindungi pantai dan tebing
sungai dari proses erosi atau abrasi serta
menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam
hari. - Menahan sedimen secara periodik
sampai terbentuk lahan baru.
- Sebagai kawasan penyangga
proses intrusi atau rembesan air laut ke danau, atau sebagai filter air
asin menjadi air tawar.
- Fungsi Kimia
a.
Sebagai tempat terjadinya proses
daur ulang yang menghasilkan oksigen
b.
Sebagai penyerap karbondioksida.
c.
Sebagai pengolah bahan-bahan limbah
hasil pencemaran industri dan kapal
- Fungsi Biologi
a. Sebagai
kawasan untuk berlindung, bersarang serta berkembangbiak bagi burung dan satwa
lain.
b. Sebagai
sumber plasma nutfah dan sumber genetika.
c. Sebagai
habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut.
d. Sebagai
penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi
invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian
Komunitas
mangrove di Indonesia itu sendiri pada dasarnya terdiri atas paling sedikit 47
jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba/rumput, 9 jenis liana, 29 jenis
epifit dan 2 jenis parasit (Yayasan Mangrove, 1993). Menurut Sukardjo (1996),
di Indonesia terdapat 75 jenis tumbuhan mangrove, sehingga Indonesia termasuk
pula sebagai wakil pusat geografi beberapa marga mangrove,Rhizophora, Bruguiera,
Avicennia, Ceriops, dan Lumnitzera.
Meskipun
demikian tidak semua jenis mangrove tersebut ada pada setiap tipe komunitas
mangrove, menyatakan bahwa mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman
jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan , 35 jenis
diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupaterna (5 jenis),p erd u (9 jenis),liana (9 jenis),epifit
(29 jenis) dan parasit (2 jenis).
Menurut Noor
et al., (1999), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat bagian antara lain :
- Mangrove
terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
- Mangrove
tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona terbuka.
- Mangrove
payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau hingga air
tawar.
- Mangrove
daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya.
Zonasi
Penyebaran Mangrove
Jika
diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut terdapat zonasi
penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah laut menuju ke
daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan menguasai
masing-masing habitat zonasinya. Mangrove yang kondisinya buruk karena
terganggu, atau berada pada derah pantai yang sempit, tidak menunjukkan
keteraturan dalam pembagian jenis pohon dan zonasi di sepanjang pantai.
Fenomena zonasi ini belum sepenuhnya difahami dengan jelas. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah.
Kondisi tanah mempunyai kontribusi
besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan seperti perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda.
Api-api dan pedada tumbuh sesuai di zona berpasir,
mangrove cocok di tanah lembek berlumpur dan kaya humus
sedangkan jenis tancang menyukai tanah lempung dengan
sedikit bahan organik. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor
lain dalam penentuan zonasi ini. Formasi hutan mangrove
yang terbentuk di kawasan mangrove biasanya didahului
oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang
memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup
di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar
pasak. Pada daerah berikutnya yang lebih mengarah ke
daratan banyak ditumbuhi jenis bakau (Rhizophora spp.). Daerah ini tidak selalu
terendam air, hanya kedang- kadang saja terendam air.
Pohon tancang tumbuh di daerah berikutnya makin menjauhi
laut, ke arah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan
laut lebih tinggi dari biasanya.
Faktor Pembatas
- Suhu
Menurut Kolehmainen et al.,
(1973)dalam Supriharyono (2000), Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak
kurang dari 20 ºC, sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5 ºC. Suhu
yang tinggi (>40 ºC) cenderung tidak mempengaruhi petumbuhan dan kehidupan
mangrove.
- Salinitas
Bengen (1999), menyebutkan mangrove
dapat hidup pada air bersalinitas payau (20-22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰).
- Derajat
Keasaman (pH)
Sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH
sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi
akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003).
- Tipe
Substrat
Menurut Kint (1934)dalam Noor et
al.,(1999), di Indonesia substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan
Rhizopora mucronata danAvic ennia
marina. Menurut Bengen (1999), daerah yang paling dekat dengan substrat agak
berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia
sp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada
lumpur dalam yang kaya bahan organik. Meskipun demikian,Sonneratia akan
berasosiasi dengan Avicennia jika
tanah lumpurnya kaya akan bahan organik (KMNLH, 1993).
2.2 Terumbu karang
Terumbu
karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan alga
zooxanthella. Selain itu terumbu karang merupakan ekosistem yang khas dari
daerah tropis, meskipun tidak menutup kemungkinan pada beberapa belahan dunia
sub tropis juga dijumpai. Terumbu karang sendiri terbentuk dari endapan-endapan
masif terutama dari kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan oleh
organisme karang. (Nybakken,1992)
Terumbu karang memiliki peranan penting di laut, selain
sebagai pelindung pantai dari abrasi akibat gempuran arus dan ombak, ekosistem terumbu karang juga memiliki fungsi ekologi yakni
sebagai habitat biota, feeding ground (mencari makanan), spawning (pemijahan),
nursery ground (wilayah perkembangbiakan) berbagai jenis organisme laut seperti
ikan, krustasea, moluska, echinodermata, polikhaeta, dan biota lain yang hidup
di sekitar terumbu karang tersebut.
Jenis-jenis
Terumbu Karang
Menurut jenisnya terumbu karang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
terumbu karang keras (hard coral) dan terumbu karang lunak (soft
coral). Terumbu karang keras (seperti brain coral dan elkhorn
coral) merupakan karang batu kapur yang keras yang membentuk terumbu
karang. Terumbu karang lunak (seperti sea fingers dan sea whips)
tidak membentuk karang. Terdapat beberapa tipe terumbu karang yaitu terumbu
karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf yang biasa
disebut sebagai fringing reef, terumbu karang yang tumbuh sejajar pantai
tapi agak lebih jauh ke luar (biasanya dipisahkan oleh sebuah laguna) yang
biasa disebut sebagai barrier reef dan terumbu karang yang menyerupai
cincin di sekitar pulau vulkanik yang disebut coral atoll (Anonimous,
2005).
2.3 Lamun
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae)
yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut.
Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule)
yang dihasilkan secara seksual (dioecious) (Mann, 2000).
Menurut
Mann (2000), lamun umumnya membentuk padang lamun yang
luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai
bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada
kedalaman berkisar antara 2 ¨C 12 meter dengan sirkulasi air yang baik.
Secara ekologi padang lamun mempunyai beberapa fungsi
penting bagi wilayah pesisir, yaitu: produsen detritus dan zat hara; mengikat
sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang
padat dan saling menyilang; sebagai
tempat
berlindung, mencari makan, tumbuh besar dan memijah
bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di
lingkungan ini; dan sebagai tudung pelindung
yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Bengen, 2002)
Jumlah jenis
lamun yang dijumpai di perairan Asia Tenggara adalah sekitar 20 jenis, dimana
hanya 12 jenis lamun yang dijumpai di perairan Indonesia yaitu Cymodocea
sermlata, C.rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninewis,
Hpirfolia, Halophilia minor, H.ovalis, Rdecipiens, Hspinulosa, Thalassia
hemprichii, Syringodium isoetifolium dun Thalassodendron ciliaturn. Ke
12 jenis menyebar di perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, NTT dan Irian Jaya.
Biomassa Lamun
Biomassa lamun dalam adalah berat dari semua material yang hidup pada
suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat
yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2.
Sedangkan produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun selang
waktu tertentu dengan laju produksi (produktivitas) yang sering dinyatakan
dengan satuan berat kering per m2 perhari (gbk/m2/hari) atau berat
karbon per m2 pertahun (gC/m2/tahun). Pengukuran
produktivitas lamun dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode
biomassa, metode penandaan dan metode metabolisme (Hartog, 1970).
Biomassa dan produksi dapat bervariasi secara spasial dan temporal yang
disebabkan oleh berbagai faktor, terutama oleh nutrien dan cahaya. Selain itu
juga sangat tergantung pada spesies dan kondisi perairan lokal lainnya seperti
kecerahan air, sirkulasi air dan kedalaman),panjang hari, suhu dan angin.
Besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan,
tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan (Hartog, 1970).
2.4 Indeks Nilai Penting
indeks
nilai penting (INP) merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh
perubahan jumlah jenis dalam petak sebelum pemanenan setelah penebangan dan
penyaradan kayu. Indeks Nilai Penting
(INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis
lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis
suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan
penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi
Relatif (DR), (Mueller-Dombois dan ellenberg, 1974; Soerianegara dan Indrawan,
2005).
2.5 Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman
jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas,
terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan
suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan
menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :
dimana : H’
= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu jenis ke-n
N = Total jumlah individu
BAB III
Metodologi
Percobaan
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Praktikum
dilakukan di dua tempat yaitu dilapangan dan di laboratorium. Untuk pelaksanaan
praktikum di lapangan dilakukan pada hari sabtu 25 Desember 2010 pukul 05.00
WIB yang bertempat di Bancaran dan sepuluh
Sedangkan untuk
yang di laboratorium dilakukan pada hari senin 27 Desember 2010 pukul 09.00 WIB
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi :
·
Transek kuadrat 50x50 cm
·
Tali Rafia
·
Kantong Plastik
·
Roll Meter
·
Ph meter
·
Refraktometer
·
Termometer
·
Baskom
·
Nampan
·
Oven
·
Timbangan analitik
·
Penggaris
·
Lembar Kerja
·
Alat Tulis
Bahan yang digunakan meliputi :
- Daun
- Substrat
- Buah
- Formalin
3.3 Prosedur
Kerja
- Terumbu karang
Penentuan stasiun untuk
ekosistem terumbu karang digunakan metode Line
Intercept Transek (LIT). Roll meter sepanjang 55 meter
dibentangkan di dasar perairan yang merupakan wilayah ekosistem terumbu karang.
Posisi bentangan rol meter akan bersinggungan dengan terumbu karang. Kemudian mengambil
data dimana dimulai dari titik nol untuk mencatat transisi dan kategori lifeform
yang berada tepat dibawah transek garis. Data kategori lifeform biota
habitat dasar dan transisi tempat penggantian lifeform dicatat dalam
lembar data, Pencatatan lifeform dan titik transisi tempat penggantian lifeform
dilanjutkan hingga akhir plot. Kemudian menganalisis data
- Struktur
komunitas dan biomassa lamun
Meletakkan atau membentangkan transek mulai dari
ditemukan lamun sampai tidak di temukan ke arah pantai. jarak transek 1 ke yang
lain yakni 50-100 m, dan pada satu titik ada 4 transek kuadrat. selain itu juga
parameter lingkungannya diukur dan setelah itu mengestimasi persen penutupannya
·
Analisa data Mangrove
Mengidentifikasi dengan buku identifikasi, Menghitung Indeks Nilai
Penting Mangrove (INP), yaitu: Data lapang yang dihitung : Di, RDi, Fi, RFi,
Ci, RCi dan INP. Kerapatan jenis (Di) dan Kerapatan relatif jenis (RDi)
BAB
IV
Hasil
dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1
Mangrove
·
Anakan
No
|
Spesies
|
Jenis
(anakan)
|
diameter
|
1
|
Rhizopora
mucronata
|
Jumlah 157
|
2 cm
|
·
Semaian
no
individu
|
stasiun
|
spesies
|
semaian
(D)/cm
|
1
|
A
|
RM
|
3
|
2
|
A
|
RM
|
4
|
3
|
A
|
RM
|
3
|
4
|
A
|
RM
|
4
|
5
|
A
|
RM
|
3
|
6
|
A
|
RM
|
3
|
7
|
A
|
RM
|
3
|
8
|
A
|
RM
|
3
|
9
|
A
|
RM
|
4
|
10
|
A
|
RM
|
4
|
11
|
A
|
RM
|
3
|
12
|
A
|
RM
|
3
|
13
|
A
|
RM
|
4
|
14
|
B
|
RM
|
3
|
15
|
B
|
RM
|
2.5
|
16
|
B
|
RM
|
3
|
17
|
B
|
RM
|
4
|
18
|
B
|
RM
|
3.5
|
19
|
B
|
RM
|
3.2
|
20
|
B
|
RM
|
2.8
|
21
|
B
|
RM
|
3
|
22
|
B
|
RM
|
3
|
23
|
C
|
RM
|
4
|
24
|
C
|
RM
|
3
|
25
|
C
|
RM
|
2.5
|
26
|
C
|
RM
|
2.5
|
27
|
C
|
RM
|
4
|
28
|
C
|
RM
|
3
|
29
|
C
|
RM
|
3.5
|
30
|
C
|
RM
|
4
|
Nb
: RM (Rhizophora mucronata)
·
Dewasa
no
individu
|
stasiun
|
Spesies
|
dewasa
(D)/cm
|
1
|
A
|
RM
|
18
|
2
|
A
|
RM
|
17
|
3
|
A
|
RM
|
25
|
4
|
A
|
RM
|
26
|
5
|
A
|
RM
|
19
|
6
|
B
|
RM
|
28
|
7
|
B
|
RM
|
29
|
8
|
B
|
RM
|
19
|
9
|
B
|
RM
|
27
|
10
|
B
|
RM
|
30
|
11
|
B
|
RM
|
26
|
12
|
B
|
RM
|
19
|
13
|
B
|
RM
|
25
|
14
|
B
|
RM
|
19
|
15
|
B
|
RM
|
20
|
16
|
B
|
RM
|
24
|
17
|
B
|
RM
|
26
|
18
|
B
|
RM
|
19
|
19
|
B
|
RM
|
18
|
20
|
B
|
RM
|
19
|
21
|
B
|
RM
|
22
|
22
|
B
|
RM
|
26
|
23
|
B
|
RM
|
26
|
24
|
B
|
RM
|
25
|
25
|
B
|
RM
|
19
|
26
|
C
|
RM
|
30
|
27
|
C
|
RM
|
31
|
28
|
C
|
RM
|
28.5
|
29
|
C
|
RM
|
39.5
|
30
|
C
|
RM
|
30
|
31
|
C
|
RM
|
30
|
32
|
C
|
RM
|
33
|
33
|
C
|
RM
|
33
|
34
|
C
|
RM
|
34
|
35
|
C
|
RM
|
30
|
36
|
C
|
RM
|
23
|
37
|
C
|
RM
|
17
|
38
|
C
|
RM
|
29
|
39
|
C
|
RM
|
34
|
40
|
C
|
RM
|
28
|
41
|
C
|
RM
|
37
|
41
|
C
|
RM
|
37
|
43
|
C
|
RM
|
23
|
4.1.2 Lamun
·
Stasiun 1
2,4,2,0
|
2,5,4,3
|
5,1,3,5
|
2,3,5,4
|
1,5,5,2
|
1,0,0,1
|
3,3,4,3
|
4,4,1,5
|
0,2,2,0
|
2,5,3,4
|
3,5,3,5
|
2,5,0,3
|
4,3,2,1
|
4,5,2,2
|
0,4,3,0
|
3,2,2,4
|
2,0,1,2
|
3,2,2,0
|
2,5,0,0
|
0,5,3,4
|
2,4,2,5
|
4,2,1,4
|
5,3,2,0
|
1,1,4,4
|
2,2,3,0
|
·
Stasiun 2
0,0,2,3
|
1,5,0,4
|
5,0,3,2
|
1,0,3,3
|
1,3,3,2
|
1,0,4,3
|
3,4,0,2
|
3,5,4,3
|
2,0,0,1
|
4,5,2,3
|
2,2,0,0
|
3,2,4,5
|
1,5,5,5
|
4,4,3,5
|
3,0,2,1
|
4,5,2,1
|
2,5,1,5
|
3,3,2,1
|
3,4,4,2
|
5,2,0,4
|
5,3,0,2
|
2,1,1,2
|
4,4,3,0
|
0,1,3,3
|
3,4,5,1
|
·
Stasiun 3
1,0,2,0
|
1,1,1,0
|
0,0,0,1
|
2,0,3,2
|
1,0,0,2
|
2,1,3,0
|
2,2,3,4
|
1,2,3,0
|
2,4,3,2
|
3,3,2,1
|
1,1,2,1
|
3,5,4,0
|
3,4,0,1
|
4,3,2,1
|
2,0,0,5
|
2,1,2,2
|
4,3,5,2
|
3,3,2,1
|
1,5,4,0
|
1,3,1,2
|
0,0,1,3
|
2,2,3,4
|
4,3,1,2
|
2,1,5,0
|
2,1,1,3
|
4.1.3 Terumbu
Karang
Jarak
|
Jenis karang
|
Pengukuran
|
0-5
|
DC
|
0-1
|
|
Rabel
|
1-2
|
|
ACT
|
2-3
|
|
Rabel
|
3-4,5
|
|
DC
|
4,5-5
|
5-10
|
Rabel
|
5-6
|
|
ACT
|
6-7,5
|
|
Rabel
|
7,5-8,5
|
|
Rabel
|
8,5-10
|
10 – 15 cm
|
ACT
|
10 – 10,3 cm
|
|
Rabel
|
10,3 – 11 cm
|
|
Rabel
|
11 – 12 cm
|
|
Rabel
|
12 – 14 cm
|
|
ACT
|
14 – 15 cm
|
15 – 20 cm
|
Rabel
|
15 – 17 cm
|
|
DCA
|
17 – 17,4 cm
|
|
Rabel
|
17,4 cm – 20 cm
|
20 – 25 cm
|
Rabel
|
20 – 21 cm
|
|
DCA
|
21 – 22 cm
|
|
Rabel
|
22 – 23 cm
|
|
DCA
|
23 – 24 cm
|
|
Rabel
|
24 – 25 cm
|
25 – 30 cm
|
Rabel
|
25 – 27 cm
|
|
ACB
|
27 – 28,30 cm
|
|
Rabel
|
28,30 – 30 cm
|
30 – 35 cm
|
Rabel
|
30 – 32 cm
|
|
M
|
32 – 32,50 cm
|
|
Rabel
|
32,50 – 34 cm
|
|
ACB
|
34 – 34,20 cm
|
|
Rabel
|
34,20 – 35 cm
|
35 – 40 cm
|
Rabel
|
35 – 35,30 cm
|
|
M
|
35,30 – 36 cm
|
|
DC
|
36 – 37 cm
|
|
M
|
37 – 37 ,20 cm
|
|
ACB
|
37,20 – 38 cm
|
|
R
|
38 – 38,10 cm
|
|
M
|
38,10 – 40 cm
|
40 – 45 cm
|
R
|
40 – 40,40 cm
|
|
M
|
40,40 – 41 cm
|
|
ACB
|
41 – 41,40 cm
|
|
DC
|
41,40 – 41,80 cm
|
|
M
|
41,80 – 42,30 cm
|
|
R
|
42,30 – 43,80 cm
|
|
S
|
43,80 – 44,40 cm
|
|
DC
|
44,40 – 45 cm
|
45 – 50 cm
|
R
|
45 – 47 cm
|
|
DC
|
47 – 48 cm
|
|
ACB
|
48 – 48,20 cm
|
|
R
|
48,20 – 49 cm
|
|
S
|
49 – 50 cm
|
50 – 55 cm
|
M
|
50 – 51,5 cm
|
|
DC
|
51,5 – 51,10 cm
|
|
R
|
51,10 – 51, 40 cm
|
|
DC
|
51,40 – 52 cm
|
|
R
|
52 – 55 cm
|
Sedimen lamun
No
|
Ukuran saringan
|
Berat sedimen
|
|||
Titik 1
|
Titik 2
|
Titik 3
|
Titik 4
|
||
1
|
2 mm
|
0,250 g
|
13,972 g
|
7,74 g
|
8,712 g
|
2
|
1 mm
|
0,485 g
|
16,367 g
|
10 g
|
16,747 g
|
3
|
500 μm
|
2,290 g
|
8,757 g
|
5,667 g
|
9,631 g
|
4
|
250 μm
|
95,450 g
|
3,824 g
|
2,716 g
|
7,281 g
|
5
|
125 μm
|
46,147 g
|
27,250 g
|
13,907 g
|
27,248 g
|
6
|
63 μm
|
0,702 g
|
23,761 g
|
11,880 g
|
20,520 g
|
7
|
45 μm
|
0,029 g
|
1,541 g
|
0,745 g
|
1,113 g
|
Berat lamun
no
|
Stasiun
|
Berat basah
|
Berat kering
|
||
Daun
|
Akar
|
Daun
|
Akar
|
||
1
|
1
|
11 g
|
36 g
|
5 g
|
25 g
|
2
|
2
|
8 g
|
23 g
|
3,2 g
|
15 g
|
3
|
3
|
7 g
|
33 g
|
2,5 g
|
13 g
|
Parameter
Lingkungan
Suhu : 320c
Salinitas : 27
Ph : 7,8
Pengukuran
biomasa lamun
·
Daun : 8gr dan 7gr
·
Akar : 23gr dan 33gr
Pembahasan
Dari
hasil praktikum bahwa nilai INP mangrove pada transek A,B,C sama dengan 300
karena pada ketiga transek tersebut jenis mangrove yang ditemukan hanya satu
jenis yaitu rhizopora mucronata. Nilai penting suatu jenis mangrove untuk
tingkat pohon dan anakan berkisar antara nol sampai 300. Indeks nilai penting
(INP) menjelaskan pengaruh atau peranan suatu jenis vegetasi mangrove dalam
suatu komunitas mangrove yang diamati. Semakin tinggi indeks nilai penting
suatu jenis, maka semakin tinggi pula peranan jenis mangrove tersebut dalam
ekosistem.
Untuk indeks
keanekaragaman menunjukkan nilai H` < 1 maka keanekaragaman jenis rendah ,
1< H’< 3 keanekaragaman jenis sedang, sedangkan H` > 3 berarti keanekaragaman
jenis tinggi. Pada hasil praktikum ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman
sangat rendah karena jenis mangrove yang ditemukan hanya satu jenis.
Untuk indeks keseragaman nilainya e < 0,4 keseragaman populasi kecil,
0,4 < e < 0,6 keseragaman populasi sedang e > 0,6 keseragaman populasi
tinggi. Pada hasil praktikum ini menunjukkan bahwa nilai indeks keseragamannya
tinggi begitu pula dengan indeks dominansinya yang bernilai satu, hal ini
disebabkan karena pada praktikum ini hanya ditukan satu jenis mangrove yaitu
jenis rhizopora mucronata.
1.1.1.
Lamun
transek
|
titik 1
|
titik 2
|
titik 3
|
1
|
15.7524
|
22.3768
|
11.7532
|
2
|
35.1264
|
25.376
|
15.3768
|
3
|
16.8772
|
18.6264
|
13.3772
|
4
|
24.626
|
22.3772
|
10.8776
|
92.382
|
88.7564
|
51.3848
|
|
% rata-rata
|
23.0955
|
22.1891
|
12.8462
|
Keterangan : 1 = titik 1
2 = titik 2
3 = titik 3
·
Pembahasan
Jenis lamun yang ditemukan di perairan sepuluh
adalah Thalasia
hemprichii
. Dari table di atas terlihat hasil perhitungan persen penutupan pada setiap
titik dan pada setiap transek. Untuk titik 1 rata-rata persen pentupannya 40 %,
untuk titik 2 yaitu 38% dan untuk titik 3 yaitu 22%. Dari ketiga titik nilai
persen penutupan yang terbesar pada titik 1.
1.1.2.
Terumbu karang
% penutupan karang
|
|
DCA=
|
4.363636
|
ACT=
|
2.363636
|
Rable=
|
50.36364
|
ACB=
|
5.454545
|
M=
|
10.72727
|
DC=
|
4
|
S=
|
0.029091
|
Persen penutupan komponen penyusun habitat dasar perairan. Komponen
penyusun habitat dasar dibagi dalam beberapa kelompok komponen antara lain
adalah Dead Coral with Alga (DCA),
Acrophora tabular (ACT), Rabel, Acrophora branching (ACB), Masiv (M),
Dead coral (DC), Sand (S)
Dari diagram di atas
terlihat bahwa persen penutupan terumbu karang didominasi oleh rubble atau
pecahan karang. Sedangkan jenis karang yang terdapat di perairan tersebut
adalah acropora dan masiv. Ini menggambarkan bahwasannya perairan di bancaran
banyak terjadi aktivitas baik itu manusia maupun alam
BAB
V
Penutup
5.1 Kesimpulan
Biomassa
lamun dalam adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas
tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering
dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2. hasil perhitungan persen
penutupan pada setiap titik dan pada setiap transek. Untuk titik 1 rata-rata
persen pentupannya 40 %, untuk titik 2 yaitu 38% dan untuk titik 3 yaitu 22%.
Dari ketiga titik nilai persen penutupan yang terbesar pada titik 1.
indeks
nilai penting (INP) merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh
perubahan jumlah jenis dalam petak sebelum pemanenan setelah penebangan dan
penyaradan kayu.
Persen
penutupan adalah persentase luas area yang ditutupi oleh pertumbuhan karang,
persen penutupan diperoleh dengan mengukur intersep koloni karang sepanjang
garis transek dibagi dengan panjang transek dikali 100%
Daftar
Pustaka
Den Hartog,C., 1970. The Sea Grasses of the
World North Holland Publishing
Company.Amsterdam,275p
Nybakken,
JW.1982. Biologi Laut: Suatu Pendekatan
Ekologis. [Alih bahasa: HM Eidman,
dkk.1986] PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soerianegara,
I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Saleh, Amrullah. 2009. Teknik
Pengukuran Dan Analisis Kondisi Ekosistem Terumbu
Karang. [Artikel, pdf].
http://regional.coremap.or.id/Analisis_Penilaian_TK.pdf.
Diunduh pada
30 Desember 2010.
Supriharyono,
2000. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Penerbit Djambatan. Jakarta. h 2-10.
(Mueller-Dombois
dan ellenberg, 1974; Soerianegara dan Indrawan, 2005).
(Hartog, 1970).
(Bengen, 2002)
(mann , 2000)
(Anonimous,
2005).
(Nybakken,1992)
(Effendi, 2003).
Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi.
Jakarta : Bumi Aksara
Nybakken, JW.1982. Biologi Laut: Suatu Pendekatan
Ekologis. [Alih bahasa: HM Eidman, dkk.1986] PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soerianegara,
I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Michael, P. 1995. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan
Laboratorium. Jakarta: UI Press.
Rohman, Fatchur dan I Wayan Sumberartha. 2001. Petunjuk Praktikum
Ekologi Tumbuhan. Malang: JICA.
Syafei, Eden Surasana. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung.
ITB.
CII. 2004. Konservasi berbasis
masyarakat melalui daerah perlindungan laut di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Palu.
h. 1-10.
English, S., C. Wilkinson dan V.
Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institut
of Marine Sciene. Townsville. h. 5-51.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP)
DKP.,2004. Ekologi dan Potensi Sumherdaya Perikanan
Lambata, Nusa Tenggara Timur.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Lautjpser Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.hal38.
Den Hartog,C., 1970. The Sea Grasses of the World North Holland Publishing Company.Amsterdam,275p Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup RI. No.200 Tahun
2004. Kriteria Baku Kemsakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
Jakarta.
Setyono,D.E.D., 1993. Distribusi dan Dominasi Lamun
(Sea grass) di Teluk Ambon. Perairan Maluku dan Sekitarnya. Jakarta: Balai Litbang
Sumberdaya Laut. Puslitbang Oseanologi-LIPI.
Anonimous. 2010. Terumbu Karang. http://www.oceanografi.blogspot.com
diakses tanggal 28 Desember 2010.
Anonimous. 2010.Deskripsi
Lamun. http://www.ipb.ac.id diakses tanggal 28 Desember 2010.
Arikunto. 2007. Ekosistem Mangrove
(Bakau). http://www.woodpres.com diakses tanggal 28 Desember 2010
Nybakken, J.W.
1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.
Priyono. 2007. Pemetaaan Terumbu
Karang Dengan Satelit Sumberdaya alam. http://www.google/sutikno.org diakses
tanggal 28 Desember 2010.
0 komentar:
Posting Komentar